DAFTAR ISI
Pelajaran 1 Azab dan Sengsara, Merari Siregar
Pelajaran 2 Sitti Nurbaya, Marah Rusli
Pelajaran 3 Salah Asuhan, Abdul Muis
Pelajaran 4 Layar Terkembang, S. Takdir Alisjahbana
Pelajaran 5 Belenggu, Armijn Pane
Pelajaran 6 Puisi-puisi Sebelum PD II
Pelajaran 7 Corat-coret di Bawah Tanah, Idrus
Pelajaran 8 Aku, Chairil Anwar
Pelajaran 9 Atheis, Achdiat K. Mihardja
Pelajaran 10 Jalan Tak Ada Ujung, Mochtar Lubis
Pelajaran 11 Pada Sebuah Kapal, Nh. Dini
Pelajaran 12 Kooong, Iwan Simatupang
Pelajaran 13 Telegram, Putu Wijaya
Pelajaran 14 Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer
Pelajaran 15 Anak Semua bangsa, Pramoedya Ananta Toer
Pelajaran 16 Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari
Pelajaran 17 Para Priyayi, Umar Kayam
Pelajaran 18 Laskar Pelangi, Andrea Hirata
Daftar Pustaka
中文目录
第一课 多灾多难 麦拉里希里格尔
第二课 西蒂努尔巴雅 马拉鲁斯里
第三课 错误的教育 阿卜杜尔慕依斯
第四课 扬帆 达迪尔阿里夏巴纳
第五课 枷锁 尔敏巴奈
第六课 战前现代诗歌
第七课 地下随笔 伊德鲁斯
第八课 我 凯利尔安瓦尔
第九课 无神论者 阿赫迪亚特卡尔达米哈查
第十课 路漫漫 莫赫达尔鲁比斯
第十一课 在船上 恩哈蒂妮
第十二课 戈翁 伊万西马杜邦
第十三课 电报 布杜威查雅
第十四课 人世间 普拉姆迪亚阿南达杜尔
第十五课 万国之子 普拉姆迪亚阿南达杜尔
第十六课 月晕 阿赫玛多哈里
第十七课 士绅门第 乌玛尔卡亚姆
第十八课 天虹战队 安德烈亚伊拉达
参考书目
內容試閱:
AZAB DAN SENGSARA
oleh Merari Siregar
作品导读
自十七世纪初逐步沦为荷兰殖民地开始,印尼文学就一直停留在封建旧文学的阶段裹足不前。荷兰殖民者只顾竭泽而渔,加强对殖民地的经济垄断和掠夺,在相当长的一段时间内不重视对当地人的教育,西方文化和文学对印尼文学几乎无影响可言,加之频仍的殖民战争的摧残,印尼文学基本处于停滞状态。进入二十世纪以后,打着“道义政策”旗号的殖民者才把目光投向教育,使新型知识分子的产生成为可能。他们大部分出生于封建贵族地主家庭,受西式教育和西方文化影响后,开始了个性意识的觉醒,日益感到与本民族的旧封建意识和传统习俗格格不入。而他们首先力求摆脱的是封建礼教,尤其是在婚姻问题上对个人的束缚。这样的社会背景为为印尼现代文学的产生在思想内容和形式方面准备了条件,也为它孕育了一批作家,以反封建习俗和强迫婚姻为基本主题、宣扬个性自由的文学作品应运而生,并风行一时。
在这样的历史背景下,麦拉里希里格尔用“高级马来语”所创作的印尼第一部个人反封建小说《多灾多难》(Azab dan Sengsara)于1920年问世了。作者在小说中通过一对青年人的爱情和婚姻悲剧,对封建包办婚姻表示了心中的不满。小说的主人公阿米努丁和玛丽娅敏从小青梅竹马,长大后成为相亲相爱的恋人。阿米努丁离家到棉兰工作时,与玛丽娅敏立下了山盟海誓,非她不娶。后来玛丽娅敏家道中落,阿米努丁的父母便嫌弃她,为儿子另外物色门当户对的媳妇。阿米努丁虽然感到非常失望和痛苦,但不敢违抗父母之命,只好忍气吞声地接受命运的摆布。玛丽娅敏更为不幸,她被迫嫁给了一个浪荡子后不断受到虐待,最后带着被丈夫遗弃的坏名声回到自己的家乡,不久便郁郁而死。
在小说中,面对封建旧习俗的压迫和摧残,阿米努丁和玛丽娅敏表现出的是软弱和屈服,这也是作者对当时的社会现实充满无奈和遗憾的真实写照。以悲剧形式来表现反封建的主题,这是初期的个人反封建小说的共同特点。作为早期印尼现代文学的一个组成部分,个人反封建文学尽管没有把反封建与反殖民联系起来,但它反映了新旧之间的矛盾和思想冲突,反映了新一代知识分子对封建传统的不满和觉醒意识,其进步意义不可否认。
原作赏析
Ⅵ Makin jauh
Hal ihwal penduduk rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok itu telah kita maklumi. Siapa Mariamin, siapa ayah bundanya, telah dikenal benar-benar. Jadi tiadalah kita heran lagi, apa sebabnya si ibu bersusah hati, waktu ia sakit itu, sebagai sudah tersebut pada awal ceritera ini. Nyawa manusia tiada dapat ditentukan kalau ia mati, apa pulakah jadi anak yang dua itu? Yang dipikulnya pun telah berat sejak suaminya meninggal dunia. Harta habis, bangsa pun hilang. Akan tetapi si ibu seorang perempuan yang sabar dan keras hati. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang tenang. Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh. Sekalipun penanggungannya yang berat itu diserahkannya kepada Tuhan yang pengasih, karena tahulah ia, bahwa di dunia ini suatu pun tiada yang kekal. Mereka anak-beranak dalam kemelaratan, siapa tahu besok lusa datang perubahannya. Meskipun kesenangan itu tiada diperoleh di atas dunia ini, tentu kita makin cinta kepada kesenangan, yang diterima umat Allah yang percaya kepadanya pada hari yang kemudian. Sebab memikirkan itulah si ibu bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam hati anaknya ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, bahasa agama itulah yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri di waktu banjir dan air pasang. Agama itulah yang memberi tenaga bagi kita akan memikul beban kehidupan kita. Agama itulah yang menghiburkan hati kita yang gundah gulana sebab keazaban dunia, karena firman Tuhan kita ketahui, bahasa hidup di dunia yang sengsara itu akan bertukar dengan kesenangan yang kekal di akhirat. Harapan akan kesenangan di akhirat, tempat bersuka-cita itulah menjadikan kita terhibur, meskipun air mata kita di bawah langit ini acap kali tercur-cur.
Memang berat tanggungan ibu yang saleh itu. Sebenarnyalah itu, waktu suaminya hidup dan sepeninggal dia. Bukankah banyak yang dideritanya karena suaminya? Akan tetapi meskipun demikian lebih suka jugalah ia, kalau mimpinya itu tiada kejadian. Benarlah sekarang apa yang dimimpikannya itu: “Gempa amat kuat, tanah menelan suaminya, kekayaan habis semua, hanya ia bertiga dengan anaknyalah yang tinggal.” Akan tetapi tak guna duduk bercintakan itu, karena takdir Allah atas hambanya tak dapat ditolak.
Karena suaminya tiada lagi, harta bendapun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencahari nafakah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia mencahari upahan, pada waktu mengerjakan sawah, misalnya menyiangi, mengirik padi dan lain-lainnya, karena tahulah ia, bahasa pekerjaan yang halal itu tiada menghinakan orang. Dua tahun sudah mereka itu bersakit-sakit, sekalipun belum pernah mereka kekurangan makan, karena usaha si ibu itu dan berkat Tuhan yang memelihara makhluknya. Pakaian anaknya pun adalah dengan secukupnya juga, tiadalah nampak di mata orang, bahasa mereka itu orang melarat. Mariamin anak gadis yang muda remaja itu pun tiadalah malu, sebagai kebiasaan anak gadis di Sipirok, bekerja mencahari upahan. Ibunya acap kali berkata: “ Riam, tinggallah anakku di rumah, ibu masih hidup, cukuplah ibu sendiri mencari makan kita.”